![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn-uiSh5bAK2V5QoIGw8UP2ysnLHr8rkSFu8J_wooJtHkkPLY6s6Ou61t_V-86LtuvQCHClPoAGAAMlHsbBvMb0ua847WhdqWcuQYoUe-CMXlhgPtDI09ANuCc9-C_f2EcOOHS4bpeAW4/s400/unduhan+%25281%2529.jpg)
Kesenian atau tradisi Pulau Nias yang mungkin sudah menjadi identitas langsung Suku Nias adalah tradisi Hombo Batu atau yang lebih dikenal dengan Lompat Batu Nias.
Identitas ini kemudian menjadi barang dagangan utama pariwisata Pulau
Nias karena selain menawarkan keunikan dan ketangkasan, tradisi ini juga
sudah berusia tua sehingga patut untuk dilestarikan. Di Nias Selatan
tradisi Lompat Batu Nias selalu dipertunjukan bersamaan dengan Tari
Fataele. Tari Fataele merupakan seni tari khas Nias Selatan.
Tari Fataele tidak bisa dipisahkan
dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya berbarengan dengan
tradisi Homo Batu. Dahulu kala Suku Nias sering berperang antarkampung.
Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau bahkan merebut
kampung orang lain.
Seperti halnya sistem kepemimpinan
kampung yang dipimpin seorang kepala desa atau kepala suku, dahulu
setiap kampung di Nias juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang
disebut Si'ulu yang berarti bangsawan. Kemungkinan setiap
kepala suku di setiap desa merupakan keturunan bangsawan. Uniknya
seiring dengan perkembangan zaman, sistem kepemimpinan ini masih tetap
ada di setiap kampung Teluk Dalam.
Akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan
dan kampungnya dari serangan penduduk kampung lain, setiap Si’ulu
berinisiatif mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih perperang. Jenis
latihan yang diberikan oleh Si’ulu adalah dengan melatih kemampuan Lompat Batu “Hombo Batu”
para pemuda. Jika mereka mampu menaklukkan batu setinggi 2 meter
berbentuk prisma yang dibentuk dari tumpukan batu tersebut maka mereka
dinggap mampu untuk membela dan mempertahankan kampung mereka. Jadi
secara tidak langsung tradisi Lompat Batu ini terlahir dari konflik
perang yang terjadi antar kampung. Untuk merayakan kelulusan pemuda dari
ujian tersebut, Si’ulu akan mengadakan pesta dengan memotong babi dan
kemudian diikuti dengan pengumuman pada warga kampung mengenai pasukan
Fataele yang sudah terbentuk.
Si’ulu ternyata membentuk pasukan Fatele
tidak hanya untuk keperluan pertahanan kampung tapi juga untuk kegiatan
adat seperti upacara kematian anggota keluarga Si’ulu maupun pesan adat
seperti pengangkatan Si’ulu yang baru, pernikahan Si’ila dan juga
penyambutan tamu kehormatan. Sampai saat ini fungsi dari pasukan Fatele
masih tetap sama kecuali fungsi aslinya yaitu sebagai prajurit
pertahanan kampung. Hal ini dikarenakan konflik perebutan lahan dan
kampung sudah tidak ada.
Dalam menarikan tarian ini, penari
mengenakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan
merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dalam
peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat
pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu
bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk
menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berada di tangan
kanan berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini
merupakan senjata utama yang digunakan kesatria nias untuk berperang.
Ketika dipertunjukkan prosesi tarian ini
dipimpin seorang komando layakya prosesi dalam perang yang dipimpin
oleh seorang panglima. Kemudian dia akan mengomando penari untuk
membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi
komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian
dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan
menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah
kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat
kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan
untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan
mudah untuk melumpuhkan mereka.
Gerakan Tari Faluaya sangat dinamis,
hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan gerakan mengayunkan tombak
dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang dalam mempertahankan
kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu saja, suara yang
dikelurkan oleh para penari juga merupakan ekspresi ketangkasan dan
kepahlawanan para kesatria.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya
bahwa seni Tari Faluaya atau Tari Fatele ini merupakan kesenian khas
Nias Selatan, oleh karena itu hanya terdapat di Nias Selatan yaitu di
Tanah Dalam. Teluk Dalam merupakan kecamatan, terletak di ujung selatan
Pulau nias. Jadi untuk dapat langsung menyaksikan pertunjukkan Tari
Faluaya ini, Anda bisa datang langsung ke Teluk Dalam. Salah satu desa
yang patut dikunjungi untuk menyaksikan tarian ini adalah Desa Baweu
Mate Luwo yang dikenal dengan desa kesatria. Untuk sampai ke Kota Teluk
Dalam, Anda bisa berangkat dari Sibolga dengan menggunakan kapal laut
selama 10-12 jam. Ketika Anda berada di Teluk Dalam, sempatkan untuk
mengunjungi destinasi wisata lain seperti Pantai Sorake dan Pantai Lagundri yang terkenal memiliki ombak cantik dan tersohor di kalangan peselancar dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar