Umumnya, orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karena itu, ketika mereka mau (baca: akan)
menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan,
keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan
sistem adat perkawinan Nias? Dalam artikel ini, ada baiknya saya
membeberkan fakta.
Sebelum tahun 1990-an (dan mungkin masih diterapkan sampai sekarang), böwö dalam adat perkawinan Nias masih terasa mahal (fakta ini berdasarkan pengalaman saya di kampung halaman yakni di Dangagari, Kecamatan Mandrehe).
Padahal etimologi böwö adalah hadiah,
pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah
karena ada tamu, dsb., lalu kita beri “fegero” kepada tetangga
kita. Ini bukti kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di
sekitar kita. Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Kalau
pertanyaan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke orang zaman
dahulu, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha
(ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan
dimensi statis budaya Nias. Padahal seharusnya, budaya itu dinamis
sesuai perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang
terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia
dan bukan manusia untuk adat.
Selektiflah
menerapkan adat yang tidak membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal.
Karena sistem perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung
berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu
di-uangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena
babi tidak murah (misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi
harganya bisa mencapai Rp 900. 000 - Rp 1 Juta).
Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya).
Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Karena mayoritas masyarakat
Nias mata pencaharian mereka adalah bersawah/berladang dan menyadap
karet (dari pohon hafea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias
tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada
irigasi. Setahu saya, rata-rata sawah di Nias tidak ada irigasi yang
dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta. Pengairan sawah
di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada
masalah. Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba
kita bayangkan jika musim hujan, mau makan apa masyarakat Nias?
Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan juta,
bisa bertahun-tahun.
Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi (babi) wangowalu, seekor babi khusus untuk fabanuasa, seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki),
dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih. Selain yang
disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga
bö’ö”.
Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan),
seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), dsb. Dan
masih ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a, berupa famokai
danga kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a
kho ni’owalu (pemberian cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas).
Singkatnya,
jika adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus
menyediakan duit puluhan-ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi,
belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Jadi, böwö ini dibagi-bagi.
Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai macam
perseteruan, permasalahan.
Akibat Böwö yang Mahal
a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami.
Pertama,
akibat negatif yang paling utama dari böwö yang mahal adalah kemiskinan
dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat negatif
berikutnya.
Kedua, akibat mahalnya
böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya,
membayar böwö yang dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum
sempat terbayarkan oleh orangtua si anak mesti si anak harus bersedia
membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat Nias
mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak
mampu mencukupi nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain
baginya selain meminjam. Anda tahu yang namanya pinjaman pasti ada
bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan banyak
keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.
Ketiga,
mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan
pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah
dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari böwö yang
mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan
nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan
sekaligus memalukan.
Keempat, akibat
keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi.
Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang
pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau
di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki
mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti
disembelih sebagai tanda pemberitahuan kepada orang-orang yang akan
menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam
uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini.
Masyarakat Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau
seperti seorang yang menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya.
Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di
mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari?
Mungkin ada yang masih rendah hati : menjadi kuli kepada orang lain.
Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat sendiri
walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak
menerapkan sistem böwö yang mahal.
Kelima,
jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa
dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya.
Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi, berkembang, dinamis jika
terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu.
Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para
orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal)
mesti menyadari apa tugas pokok jika sudah membentuk keluarga. Selain
itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada
benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias
secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang
böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala bagi orang Nias
sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika
demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi (baca : ke depan) Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya manusianya.
Keenam,
apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana
suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi
kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman. Jika demikian,
orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan,
bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö).
Ketidak-tenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain:
suami-istri sering bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang
pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi;
orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga
di Nias yang “makanan” sehari-harinya adalah “broken home”,
perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga mempraktekkan cinta sebagai
suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya
sendiri-sendiri!
Ketujuh, böwö identik
dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang
harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa
bedanya sistem böwö Nias ini dengan perdagangan perempuan dan
perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki motif bahwa
böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka
termasuk dalam lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini
bertentangan dengan hak azasi manusia bung!
b. Akibat Positif
Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.
Pertama, kekerabatan,
fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan,
menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö), oleh karena ia banyak mendapat rezeki (hal ini memang tidak saya yakini, ini ilusi bagi saya sendiri!).
Kedua,
fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi
menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati kepada para
fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabo’osa, fadonosa
atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Selain itu, mempelai
laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o).
Misalnya, jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah,
si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi
di sisi lain, hal ini membebankan.
Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.
Problem Solving Menyangkut Böwö
Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang menurut saya tepat, dan perlu direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias.
Tesis Pertama,
lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut
saya secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja,
karena ini warisan berharga dari leluhur Nias. Ritual dalam arti:
penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada
nenek, kepada penatua adat, dst..
Namun bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi
jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material,
silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil
pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk
penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala
mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi,
penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan
material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias
adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.),
fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini
justru maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi muda
Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang
kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.
Setiap
orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para
orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka
saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan menyadari bahwa pola
pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah kemiskinan.
pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara
pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironinya (masih terjadi)
babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial
bung dan apa bedanya dengan “peradangan anak”? ini bukan
melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).
Tesis kedua,
setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah
tradisi Nias yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti
melakukan penyuluhan kepada anaknya dan oleh karena itu juga jangan
mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka sendiri. Tidak
selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Selain böwö di Nias
yang bisa mengakibatkan kemiskinan terstruktur, saya juga mengambil
sample lain. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih
orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan
mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua
mereka dari penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan
tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada
orangtua. Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa orang lain,
bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen,
terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah
pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah yang tidak bisa
diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.
Tesis ketiga,
tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada
masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang
Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis yang berkewarganegaraan Belanda),
yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias
(terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak
membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup
berhasil menekan jumlah besarnya böwö. Namun, perjuangan beliau bukan
tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan
kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang
pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias menanggapi dengan tindakan yang
diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka negatif (tidak
su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa.
Tesis keempat, Dinas Pendidikan
Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika
penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan
lokal” atau semacam pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya,
böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda
agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan
oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak
membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg
pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu
didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD
hingga perguruan tinggi. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar